Beberapa
abad sebelumnya, Aristoteles telah menolak teori heliosentris, dan pada jaman
Galileo, hampir semua pemikir ternama berpandangan geosentris. Copernicus
menahan diri untuk tidak mengumumkan teori heliosentriknya untuk beberapa saat,
bukan karena takut dikecam oleh Gereja, tapi karena takut diejek dan dikecam
oleh rekan-rekannya.
Banyak
orang percaya (dengan salah) bahwa Galileo membuktikan teori heliosentris.
Padahal ia tidak mampu menjawab argumen yang paling kuat yang menentang
teorinya, yang sudah diajukan hampir dua ribu tahun sebelumnya oleh
Aristoteles: Jika teori heliosentris memang benar, seharusnya ada pergeseran
paralaks yang dapat diamati pada posisi bintang-bintang ketika bumi bergerak
dalam orbitnya mengelilingi matahari. Meskipun demikian, karena perkembangan
tekhnologi pada masa Galileo, pergeseran-pergeseran ini masih belum teramati
oleh mereka. Diperlukan alat pengukuran yang lebih sensitive daripada yang
tersedia pada masa Galileo untuk mencatat adanya pergeseran-pergeseran ini, karena
jauhnya jarak bintang (dari bumi). Sehingga sebelum pembuktian ini dapat
dilakukan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa bintang-bintang memiliki
posisi yang tetap terhadap bumi, sehingga, bumi dan bintang tidak berubah
posisi satu sama lain - hanya matahari, bulan dan planet-planet (yang berubah
posisinya terhadap bumi).
Jadi
Galileo juga tidak membuktikan teori Aristoteles dengan standard teknologi pada
masa tersebut. Dalam suratnya kepada Ratu Christina yang Agung dan dalam
dokumen-dokumen lainnya, Galileo menyatakan bahwa teori Copernicus memiliki
"demonstrasi yang masuk akal" menurut ilmu pengetahuan Aristoteles,
tapi orang-orang tahu bahwa demonstrasi seperti ini belum diramalkan. Banyak
astronom pada masa itu tidak yakin pada pendapat bahwa bintang-bintang terletak
jauh (dari bumi) yang dibutuhkan oleh teori Copernicus agar dapat mengabaikan
pengamatan pergeseran paralaks. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa
astronom yang terkenal seperti Tycho Brahe menolak untuk menerima teori Copernicus
sepenuhnya.
Sebenarnya
Galileo bisa saja dengan aman mengusulkan teori heliosentris sebagai sebuah
teori atau metode yang lebih ditujukan untuk menjelaskan pergerakan
planet-planet. Masalah mulai timbul ketika ia mengalihkan pendapatnya dari
sebuah teori ilmu pengetahuan dan mulai memproklamasikannya sebagai sebuah
kebenaran, meskipun tidak ada bukti pendukung yang kuat pada saat itu. Dan
juga, Galileo juga tidak akan berada dalam kesulitan jika ia memilih tetap
berada dalam dunia ilmu pengetahuan dan tidak masuk kedalam dunia teologi.
Namun, meskipun sudah diperingatkan oleh teman-temannya, ia bersikeras untuk
berdebat dengan dasar teologis.
Pada
tahun 1614, Galileo merasa terdorong untuk menjawab tuduhan bahwa "ilmu
pengetahuan baru" ini berkontradiksi dengan beberapa ayat Alkitab.
Musuh-musuhnya menunjukkan beberapa ayat yang berisi pernyataan seperti,
"Maka berhentilah matahari dan bulan pun tidak bergerak..." (Yos
10:13). Dan bukan hanya ini saja. Mazmur 93 dan 104 serta Pengkhotbah 1:5 juga
berbicara tentang pergerakan bulan dan kestatisan bumi. Cara penafsiran yang
harafiah dari pasal-pasal ini seharusnya ditinggalkan jika kita menerima teori
heliosentris. Seharusnya ini tidak menjadi masalah. Seperti yang dikatakan oleh
(St.) Augustine, "Orang tidak membaca Injil seperti bahwa Tuhan hendak
berkata : 'Aku akan mengirim seorang Penghibur kepadamu yang akan mengajar kamu
tentang jalur pergerakan matahari dan bulan.' Karena ia ingin membuat mereka
menjadi pengikut Kristus, dan bukan ahli matematika." Dengan mengikuti
contoh dari Augustine ini, Galileo memperingatkan untuk tidak menafsirkan
teks-teks alkitab terlalu harafiah.
Sayangnya,
selama sejarah Gereja selalu ada orang-orang yang memaksa untuk membaca Alkitab
dengan pengertian yang lebih harafiah daripada yang seharusnya. Mereka gagal
mengerti, contohnya, di tempat-tempat dimana Alkitab menggunakan apa yang
disebut dengan bahasa "phenomenologis" - yaitu, bahasa
penampakan/yang dirasakan. Seperti sekarang kita selalu berkata bahwa karena
matahari terbit dan terbenam maka timbulah siang dan malam, daripada mengatakan
bahwa bumi berputar, demikian pula pada jaman itu. Dari bumi, memang matahari
terlihat bergerak terbit dan terbenam, dan bumi terlihat tidak bergerak. Ketika
kita menjelaskan hal-hal ini sesuai dengan apa yang terlihat/dirasakan, kita
menggunakan bahasa phenomenologis.
Bahasa
phenomenologis tentang pergerakan benda-benda angkasa dan ke-statis-an bumi
sangat jelas bagi kita pada masa sekarang, tapi tidaklah demikian beberapa abad
yang lampau. Para ahli Alkitab pada masa tersebut masih mempertimbangkan apakah
pernyataan-pernyataan tertentu (dalam Alkitab) akan diartikan secara harafiah
atau secara phenomenologis, namun mereka tidak suka diatur oleh seorang yang
bukan ahli Alkitab, seperti Galileo, bahwa kata-kata dalam kitab suci harus
ditafsirkan dengan cara tertentu.
Pada
masa tersebut, interpretasi individu terhadap Alkitab adalah sebuah masalah
yang sensitif. Pada permulaan 1600-an, Gereja (Katholik) baru saja melalui
sebuah pengalaman Reformasi, dan salah satu hal pokok yang diperdebatkan dengan
orang Protestant adalah mengenai interpretasi individu terhadap Alkitab.
Para
theolog tidak cukup siap untuk menyenangkan teori heliosentris berdasarkan
interpretasi awam. Dan Galileo bersikeras mengarahkan debat kearah dunia
teologis. Sedikit sekali pertanyaan yang diajukan tentang apakah Galileo tetap
menjaga diskusinya dalam batasan ilmu astronomi (yaitu, memprediksi pergerakan
planet-planet) dan tidak mengajukan bukti fisik untuk teori heliosentris,
sehingga issue ini tidak akan menjadi masalah yang besar. Pada intinya, ia
belum membuktikan teori baru ini dengan sangat meyakinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar